Judul Film : Tanah Surga...Katanya
Sutradara : Herwin Novianto
Produksi : PT.Demigisela Cita Sinema
& PT. Gatot Brajamusti Films
Tayang Perdana :
11 AGUSTUS 2012
Durasi :
90 menit
Sudah menjadi pemandangan umum bila banyak warga negara Indonesia merantau
dan bekerja di Malaysia, sebuah negara yang diklaim sebagai serumpun dan
sebahasa. Sesuai dengan pepatah mengatakan rumput halaman tetangga lebih hijau
dari rumput halaman sendiri maka banyak orang-orang Indonesia yang bekerja atau
bahkan pindah dan menjadi warga negara di sana. Sebuah fenomena yang sering
terdengar namun tiada pernah teratasi. Untuk itulah film ini sedikit menguak
sisi kehidupan lain sebuah keluarga di sebuah desa kecil pada perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia.
Film yang bergenre drama satire ini diproduseri oleh Deddy Mizwar dan
Brajamusti yang akrab dipanggil Aa Gatot. Istilah satire mempunyai arti
sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Mereka berdua juga tampil
sebagai cameo yaitu menjadi seorang pejabat dan asistennya yang sedang
berkunjung didesa. Herwin
Novianto menyutradarai ini sebagai aksi keduanya setelah Jagad x code.
Cerita dimulai dengan kedatangan Haris (Ence Bagus) dari Serawak Malaysia,
seorang duda yang mempunyai dua orang anak yaitu Salman (Osa Aji santoso) dan
Salina (Tissa Biani Azzahra). Selama ini Haris bekerja di Serawak dan sesekali
baru pulang ke kampung halamannya. Kedua anaknya dititipkan kepada ayahnya yang
bernama Hasyim (Fuad Idris) yang sudah sakit-sakitan. Dia adalah mantan pejuang
operasi dwikora yaitu perang melawan Malaysia.
Haris mengajak ayahnya untuk pindah ke Malaysia karena kondisinya lebih
baik dengan adanya fasilitas kesehatan, mudah cari kerja dan lain-lain. Namun
Haris menolaknya dengan alasan Indonesia adalah tanah surga dan lebih makmur
serta alasan sejarah juga patriotisme bangsa. Haris hanya berhasil mengajak
Salina saja sedangkan Salman tetap tinggal dengan sang kakek.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi disama lebih buruk dari Malaysia. Di
sana tidak ada listrik dan penerangan masih memakai obor tetapi di Serawak
sudah ada listrik dan lampu. Di sana jalanan masih bebatuan tetapi di Serawak
jalanan sudah beraspal. Disana tidak ada toko yang berdagang tetapi di Serawak
banyak toko yang menyediakan segala keperluan. Bahkan mata uang disana memakai
ringgit mengikuti mata uang Malaysia.
Fasilitas pendidikan juga sangat minim dengan hanya ada satu guru saja yang
bernama Astuti (Astri Nurdin) yang mengajar rangkap kelas tiga dan kelas empat.
Bahkan sempat vakum selama satu tahun karena tidak ada gurunya. Fasilitas
kesehatan juga sempat kosong dan untunglah datang dokter Anwar (Ringgo Agus
Rahman) yang dipanggil dengan sebutan dokter Intel. Dokter Anwar sempat naksir
pada Astuti sampai-sampai memberikan hadiah shampo, maklumlah shampo saja sulit
di dapat di desa tersebut. Keduanya menunjukkan pengorbanan dan cintanya akan
penduduk desa.
Astri Nurdin dapat berperan dengan baik sesuai porsinya sebagai seorang
guru yang menunjukkan wibawanya dan bijaknya. Raut wajah dan bicaranya cocok
sebagai orang Melayu. Agus Ringgo bermain biasa-biasa saja seperti peran-peran
yang dilakoni sebelumnya. Mungkin orang sudah sering melihat karakter yang agak lucu dan karakter
tersebut melekat juga dalam film ini. Fuad Idris juga bagus dalam memerankan
sosok tua yang mencintai negeri yang bernama Indonesia. Gurat-gurat wajah yang
menahan emosi serta pertentangan batinnya dapat terlihat dengan baik. Osa Aji
Santoso terlihat potensinya namun masih harus banyak jam terbangnya untuk
menjadi aktor cilik berbakat.
Kekurangan dalam film ini
yaitu tidak tampak
murid-murid kelas satu, kelas dua, kelas lima dan kelas enam apa dan bagaimana
mereka. Sayangnya sang sutradara kurang mengeksplorasi keindahan alam dan
nuansa desa yang seharusnya dapat lebih maksimal. Menurut penulis sudut
pengambilan gambar kurang kreatif sehingga beberapa adegan terutama di malam
hari terlihat gelap. Juga alur cerita yang tidak berujung sehingga tidak ada
greget akhir yang ingin dicapai.
Kelebihan dalam film ini
adalah tema yang diangkat
patut diacungi jempol dari pada tema horsex alias horor sexy yang ada selama
ini. Jarang sekali film yang mengangkat rasa nasionalisme bangsa dengan cara
unik tanpa perang dan darah seperti ini. Termasuk posisi Indonesia digambarkan
”kalah” dalam film ini sebagai bentuk sindirin terhadap pemerintah pusat,
pejabat daerah dan kita semua. Suatu bentuk kejujuran atas realita yang ada.
Iyaaaaa, sepakat. SDnya cuma kelas 3 dan 4. Mungkin diasumsikan nggak ada anak seumuran kelas 1, 2, di daerah itu, sementara kelas yang lebih gede kaya kelas 5 & 6 lebih memilih bekerja karna mereka ngerasa yang penting sudah bisa membaca dan berhitung, cukup. Setidaknya itu modal utama nggak kena tipu kalau mereka berdagang di negara tetangga.
BalasHapusMenurut saya sutradara memfokuskan kondisi kesejahteraan yang kontras antara Indonesia perbatasan dan negri tetangga, karna yang dieksplorasi bagaimana kondisi rumah-rumahnya, kondisi gedung sekolah, ruangan sekolah, sulitnya transportasi yang masih harus naik perahu motor seharian untuk sampe ke kota (padahal untuk sampe ke Malaysia saja anak kecil jalan kaki nggak sampe sehari), sinyal susah, dan listrik yang masih terbatas (mereka masih pake diesel, lampu minyak, dan tv masih 1 biji ditonton rame-rame sekampung).
Overall, filmnya bagus yaaa... dan saya baru nonton, payah banget, haha..
Yg namanya malam pasti gelap mas, kalo terang berarti siang..
BalasHapus